BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata akhlak berasal adari bahasa arab khuluq yang jama’nya
akhlak. Menurut bahasa, akhlak adalah perangai, taqbi’at, dan agama. Kata
tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalaq yang
berarti “kejadian”, serta erat hubungannya dengan kata khaliq yang
berarti “pencipta” dan makhluq yang berarti “yang diciptakan”.
Adapun pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa
pengertian, seperti dibawah ini :
Pertama, tasawuf
berasal dari kata yang dikonotasikan dengan ahlu al-suffah, yang bererti
sekelompok orang pada masa Rosululloh SAW. yang hidupnya berdiam di
serambi-serambi mesjid, mereka mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Alloh
SWT.
Kedua, tasawuf
berasal dari kata shafa. Kata shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul
sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya nisbah, yang berarti nama bagi
orang-orang yang “bersih” atau “suci”.maksudnya adalah orang-orang yang
mensucikan dirinya dihadapan Tuhannya.
Ketiga, istilah
tasawuf berasal dari kata shaf. Makna shaf dinisbatkan kepada orang-orang yang
ketika shalat selalu berada di saf yang paling depan. Dan masih banyak sekali
sefinisi-definisi lain tentang tasawuf secara bahasa.
Adapun tasawuf menurut istilah ialah ilmu yang mempelajari
usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan
kesuciandengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antar manusia,
serta berpegang teguh pada janji Alloh SWT. Dan mengikuti syari’at Rosulullah SAW.
dalam mendekatkan diri dan mencapai keridhoannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
hubungan tasawuf dengan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu jiwa agama?
2.
Apa
saja ciri-ciri umum tasawuf?
3.
Apa perbedaan antara tasawuf filsafat dan ilmu kalam?
4.
Perbedaan
antara tasawuf dengan ilmu jiwa agama
C.
Tujuan Masalah
1.
Agar
mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu jiwa agama
2.
Agar
mengetahui ciri-ciri umum tasawuf
3.
Agar
mengetahui perbedaan taawuf filsafat dan ilmu kalam
4.
Agar
mengetahui perbedaan antara tasawuf dengan ilmu jiwa agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan
Tasawuf Dengan Ilmu-Ilmu Keislaman Dan Ilmu Jiwa Agama (Transpersonal
Psychology)
Sebagai sebuah
disiplin ilmu keislaman, tasawuf tidak dapat lepas dari keterkaitannya dengan
ilmu-ilmu Islam lainnya, seperti ilmu kalam dan fiqih. Bahkan tasawuf juga tidak bisa lepas dari keterkaitannya
dengan ilmu filsafat. Keterkaitan ilmu
tasawuf dengan ilmu-ilmu tersebut dapat disimak dalam uraian berikut ini.
1.
Keterkaitannya Dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam[1]
merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang
persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya
mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,
baik rasional maupun irasional (naqliyah). Argumentasi rasiuonal yang dimaksudkan adalah
landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun
argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua
pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode-metode
argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan kalam Tuhan ini berkisar pada
keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, ilmu ini lebih
spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid dan ilmu ‘aqa’id.
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan
tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh ilmu tauhid
menerangkan bahwa Allah mempunyai sifat sama’ (melihat), bashar
(melihat), dan lain sebagainya. Akan
tetapi, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang
hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya; bagaimana
pula peerasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an; dan bagaimana seseorang
merasa bahwa saegala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari qudrah
(kekuasaan) Allah ?
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit terjawab dengan hanya melandaskan
diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan
sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah
yang membahas cara merasakan nilai-nilai aqidah dengan memerhatikan bahwa
persoalan tadzawwuq (bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam
lingkup hal yang sunnah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang
diwajibkan.
Al-sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq,
seperti hadits Rasul:
ذاق
طعم الإيمان من رضي بالله ربا و بالإسلام دينا و بمحمد رسولا. رواه مسلم و الترمذى
“Yang
merasakan rasanya iman adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai Tuhan,
ridha kepada Islam sebagai agama, dan ridha kepada Muhammad sebagai Rasul.[2]
Dalam
ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran, dan
manifestasinya, serta kemunafikandan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf
ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk meerasakan keyakinan dan
ketentraman, sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari
kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh
sesorang. Sebab, kadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan,
tetapi tetap saja melakukannya. Allah berfirman :
ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôt ß`»yJM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur w Nä3÷GÎ=t ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ
“orang-orang Arab Badui
itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum
beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu….”[3]
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai
pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam
melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid dan ilmu kalam
menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam prilaku. Dengan
demikian ilmu tasawuf sebagai penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut
pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh
karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau
lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-qur’an dan Al-sunnah,
hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak
pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, atau belum pernah
diriwayatan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran
rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu
kalam dalam dunia islam cenderung menjadi ilmu yang mengandung muatan rasional
dan muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam
akan lebih beergerak kearah liberal dan
bebas. Disinilah ilmu tasawuf memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak
dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan
atau sentuhan secara qalbiyyah (hati).
Amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam
ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, munculah kekufuran, jika rasa syukur
sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga ilmu tauhid
dapat memberi kontribusi pada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid
telah lenyap, timbulah penyakit-penyakit qalbu, seperti ujub, congkak, ria’,
dengki, hasud, dan sombong. Andai saja manusia sadar bahwa Allah-lah yang
memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tahu
kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan berbangga
diri. Kalau saja manusia sadar bahwa ia betul-betul hamba Allah, niscaya tidak
akan ada perebutan kekuasaan. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta
segala sesuatu, niscaya tidak akan ada rasa ujub dan riya’. Dari sinilah dapat
dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendidikan menuju
Allah. (pendakian para kaum sufi).
Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu
tauhid, langkah baiknya melihat paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudul
Asma Al-Husna’, Al-Ghazali telah menjelaskan dengan baik persoalan
tauhid kepada Allah., terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah, materi pokok
ilmu tauhid. Nama Tuhan Al-rahman dan Al-rahim, katanya, pada
aplikasi rohaniyahnya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Al-Rahman
diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan
bukan kekerasan; melihat orang dengan mata Al-Rahim, bukan dengan mata
yang menghina, bahkan ia mencurahkan ke-Rahim-annya kepada orang yang
durhaka agar dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain menderita atau sakit,
orang yang Rahim akan segera menolongnya. Nama lain Allah yang patut
diteladani adalah Al-Qudus (Maha Suci). Seorang hamba akan suci apabila
berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan dan segala
persepsi yang dimiliki binatang.
Dengan ilmu tasawuf, segala persoalan yang berada dalam kajian ilmu
tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.
2.
Keterkaitan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu
Fiqh
Biasanya pembahasan kitab-kitab fiqh selalu dimulai dengan thaharah
(bersuci), kemudian persoalan-persoalan fiqh lainnya. Akan tetapi, pembahasan
ilmu fiqh tentang thaharoh atau lainnya tidak secara langsung terkait dengan
pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharoh akan terasa lebih
bermakna jika disertai pemahaman rohaniahnya.
Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat
menyempurnakan ilmu fiqh dalam persoalan-persoalan tersebut ? ilmu tasawuf
tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena berhasil memberikan corak
batin terhadap ilmu fiqh. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyu
berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan
manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqh. Alasannya, pelaksanaan kewajiaban
manusia tidak akan sempurna tanpa jalanan rohaniah.
Ma’rifat secara rasa tehadap Allah melahirkan pelaksanaan
hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah, dapat diketahui kekeliruan
pendapat yang dapat menuduh perjalanan kepada Allah (dalam tasawuf) sebagai
tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Alloh SWT. Sebab Allah sendiri telah
berfirman :
¢OèO
y7»oYù=yèy_
4n?tã
7pyèΰ
z`ÏiB
ÌøBF{$#
$yg÷èÎ7¨?$$sù
wur
ôìÎ7®Ks?
uä!#uq÷dr&
tûïÏ%©!$#
w
tbqßJn=ôèt
ÇÊÑÈ
“kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.”[4]
Berkaitan
dengan persoalan ini, Alna’-Juna’id seperti dikutip Sa’id Hawwa-menuduh sesat
golongan yang menjadikan wushul (mencapai) Allah merupakan tindakan untuk
melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas, ia mengatakan, “betul,
mereka sampai, tetapi ke neraka saqar.”
Dahulu,
para ahli fiqh mengatakan, “barang siapa mendalami fiqh, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami
fiqh, berarti ia zindiq; barang siapa melakukan keduanya, berarti dia
ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” Tasawuf dan fiqh adalah dua disiplin
ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya,
berarti terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi
berjalan tanpa fiqh atau menjauhi fiqh. Dengan kata lain, seorang ahli fiqh
tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi,
seorang ahli fiqh harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf (sufi) pun
harus mendalami dan mengikuti aturan fiqh. Tegasnya, seorang faqih harus
mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan
tatacara pengamalannya. Seorang sufipun harus mengetahui aturan-aturan hukum
dan sekaligus mengamalkannya. Berkaitan dengan ini, Syeikh Al-rifa’i berkata,
“sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi adalah satu.” Pernyataan ini
perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang “terkelabui’ selalu menghujat setiap
orang dengan perkataan” orang yang tidak memiliki syeikh, syeikhnya adalah
syetan”. Ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropagandas untuk
syeikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu cara mendudukan
tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para
pengamat ilmu tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan
tasawuf dengan fiqh adalah Al-Ghazali. Kitab ihya ulum Ad-Din-nya dapat
dipandang sebagai kitab yang mewakili dua disiplin ini, disamping disiplin ilmu
liannya, seperti ilmu kalam dan filsafat.
3.
Keterkaitan Ilmu Tasawuf Dengan Filsafat
Ilmu
tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan
pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian
tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa
terminologi jiwa dan roh, banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat.
Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentantang jiwa dan
roh, diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Kajian-kajian
mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan memberikan sumbangan yang
sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman
dalam jiwa dan roh pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian
kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.
Akan tetapi, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan
dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb memang lebih spesifik
dikembangkan dalam tasawuf, tetapi tidak berarti bahwa istilah qalb berpengaruh
dengan roh dan jiwa.
Menurut
sebagian ahli tasawuf, An-Nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan
jasad. Penyatuan roh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh
jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan
kebutuhan-kebutuhan dasar yang dibangun roh. Jika jasa tidak memiliki tuntutan
yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat kerja pengekangan napsu, sedangkan
qalbu tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad
menjadi binasa karena melayani jiwa.
4.
Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa (Tranpersonal
Psikologi)
Dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf
dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan, mengingat
dalam substansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakn persoalan-prsoalan
yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, dalam jiwa yang dimaksud adalah
jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman.
Dari sinilah, tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relefansi yang sangat berat antara
sepiritual (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian
tasawuf tidak Dapat lepas dari kajian tentyang kejiwaan manusia.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan hubungan jiwa dengan badan.
Tujuan dari uraian tersebut adalah terciptanya keserasian antara keduanya.
Pembahasan tentang jiwa dan raga ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat
sejauhmana hubungan prilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang
dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, muncul
katagori-katagori perbuatan manusia, apakah dikatagorikan sebagai perbuatan
jelek atau baik.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlaq dan sifat seseorang bergantung
pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jikka yang berkuasa pada dirinya
adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam prilakunya adalah
prilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu
insani, yang akan tampil dalam prilakunya adalah nafsu insani.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsep tentang
manusia, dapat berarti bahwa hakikat, dzat, dan inti kehidupan manusia terletak
pada unsur sepiritual dan kejiwaannya. Penekanan unsur jiwa dalam konsepsi
tasawuf tidak berarti para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini
juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam
melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifahnya di
bumi. Seseorang tidak akan mungkin sampai pada Allah dengan beramal baik dan
sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan
jalan pada kehidupan rohani yang baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa, erat
hubungannya dengan ilmu kesehatan mental. Ilmu kesehatan mental merupakan
bagian dari ilmu jiwa (psikologi).
Dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi, kata mental sering digunakan
sebagai nama lain kata personality (kepribadian) yang berarti bahwa mental
adalah semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude), dan perasaan
yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara
menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan,
menyenangkan dan sebagainya.
Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan
dalam hidup karena dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu
melaksanakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara yang
membawanya kepada kebahagiaan dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu
menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan
dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
Sementara cakupan orang yang kurang sehat mentalnya sangat luas,
mulai yang paling ringan sampai yang paling berat; dari yang merasa terganggu
ketentramanhatinya sampai yang sakit jiwa. Gejala-gejala umum yang tergolong
kurang sehat dapat dilihat dalam berbagai segi, antara lain :
1)
Perasaan, yaitu
perasaan terganggu, selalu tidak tentram, gelisah tidak tentu yang
digelisahkan, tetapi tidak dapat pula menghilangkannya (anxiety); rasa takut
yang tidak masuk akal apa yang ditakutkannya (phobi), rasa iri, rasa sedih yang
tidak beralasan, rasa rendah diri, sombong, suka bergantung pada orang lain,
tidak mau bertanggungjawab, dll.
2)
Pikiran, yaitu
gangguan terhadap kesehatan mental, dapat pula mempengaruhi pikiran, misalnya
anak-anak menjadi bodoh, malas, dan sebagainya. Begitu pula orang dewasa
mungkin merasa bahwa kecerdasan telah merosot, ia merasa kurang
mampumelaksanakan sesuatu yang telah direncanakannya baik-baik, mudah
dipengaruhio orang lain, menjadi pemalas, apatis, dan sebagainya.
3)
Kelakuan, yaitu pada
umumnya kelakuan-kelakuan yang kurang baik, seperti kenakan, keras kepala, suka
berdusta, dan lain sebagainya yang menyebabkan orang lain menderita, haknya
teraniyaya, akibat dari keadaan mental yang terganggu kesehatannya.
4)
Kesehatan, yaitu jasmaniah dapat
terganggu, bukan karena adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu,
tetapi rasanya sakit karena jiwanya tidak tentram, penyakit seperti ini disebut
psyco-tematic. Di antara gejala penyakit ini, yang sering terjadi
seperti sakit kepala, lemas, letih, dan sebagainya. Hal yang penting
diperhatikan adalah penyakit jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama
sekali.
Berbagai penyakit terasebut akan timbul pada diri manusia yang tidak
tenang hatinya, yaitu hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidak tenangan itu akan
menimbulkan penyakit-penyakit mental, yang pada gilirannya akan menjelma
menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang
sisepakati.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam
kepribadiannya adalah peribadi-peribadi yang tenang, dan perilakunyapun akan
menampakan perilaku-perilaku atau akhlak-akhalak yang terpuji. Adapun pola
kedekatan manusia kepada Tuhannya, inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf.
Disinilah tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa atau ilmu
kesehatan mental.
B.
Ciri-Ciri Umum
Ilmu Tasawuf
Karena sulitnya memberikan definisi yang lengakap tentang tasawuf,
Abu al-Wafa Al-Ghanimi At-Taftazani (peneliti tasawuf) tidak merumuskan
definisoi tasawuf dalam bukunya madkhol ila at-tasawwuf Al-Islami (pengantar ke
tasawuf islam). Menurutnya, secara umum, tasawuf mempunyai lima ciri umum,
yaitu :
1.
Memiliki moral;
2.
Pemenuhan Fana (sirna) dalam
realitas mutlak;
3.
Pengetahuan intuitif langsung;
4.
Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai
karunia Allah dalam diri seorang sufi karena terciptanya maqomat (maqom-maqom
atau beberapa tingkatan); dan
5.
Pengguanaan simbol-simbol
pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[5]
Sebagian peneliti lain berusaha mendefinisikan karakteristik umum
yang sama diantara berbagai kecendrungan tasawuf atau mistisisme. Wiliam James,
misalnya, seorang ahli peneliti ilmu jiwa Amerika mengatakan bahwa
kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai emapat karakteristik sebagai berikut
:
1)
Ia merupakan suatu kondisi pemahaman
(noetic). Sebab, bagi para penempuhnya, ia merupakan kondisi pengetahuan yang
dalam kondisi tersebut, tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan
ilham, dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.
2)
Ia merupakan suatu kondisi yang
mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab, ia semacam kondisi
perasaan (state of feeling) yang sulit diterangkan pada orang lain yang detail
dalam kata-kata seteliti apapun.
3)
Ia merupakan suatu kondisi yang
cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak berlangsung lama tinggal
pada ssang sufi, atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat kuat
dalam ingatan.
4)
Ia merupakan suatui kondisi fasif
(passivity). Dengan kata lain, seorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi
tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru ia
tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu
menguasainya.[6]
C.
Perbedaan
Antara Tasawuf, Filsafat Dan Ilmu Kalam
Perbedaannya terletak pada cara menemukan kebenarannya. Perbedaan
antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam,
sebagai ilmu yang menggunakan logika (aqliyah landasan pemahaman yang cenderung
mernggunakan metode berfikir filosofis) dan argumrntasi naqliyah yang berfungsi
untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan
metode dealektika/dialog keagamaan. Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Filsafat menghampiri kebenaran
dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal (mendalam) dan terikat logika.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada
rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan
pengalaman sesorang. Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah
intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang
dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu
kebenaran yang objeknya datang dari subjek sendiri. Hasbi (2011).
D.
Perbedaan
Antara Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama
Dari konteks hubungan anatara ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa yang
tertera di atas terdapat perbedaan diantara keduanya.
Dengan demikian psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori
dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi
psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam.
Namun pada sisilain tasawuf juga memberi konstribusi besar dalam pengembangan
psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas
jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak
berasala dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalah dari metode
sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat
tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya, artinya langsung mempelajari isi
dan kondisi hati ataupuun kejiwaan manusia, bagaimana seharusnya. Sedangkan
ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari dan
mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan
mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan perilaku manusia apa adanya,
karena menurutnya dari mempelajari perilakunya kita dapat menggambarkan
bagaimana kondisi kejiwaannya.[7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, kami dapat
mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang sangat
penting yang harus dimiliki setiap manusia karena dengan ilmu tasawufjiwa kita
lebih tenang dan damai. Hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian,
sehingga bisa berhubungan dengan Allah sedekat mungkin.
Sebagai sebuah disiplin ilmu
keislaman, tasawuf tidak dapat terlepas dari keterkaitannya dengan ilmu-ilmu
keislaman lainnya, seperti ilmu kalam, fiqih, filsafat, dan ilmu jiwa. Karena
diantara ilmu-ilmu tersebut terdapat suatu keterkaitan yang mana saling
bergantungan antara sama satu lain, sehingga menjadi suatu kesempurnaan dengan
adanya keterkaitan yang tadi. Alhasil, denngan adanya hubangan tadi tidak akan
ada penyelewengan dan pelanggaran syariat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Pustaka
Setia, Bandung, 2010
Anwar,Rosihon dan Solihin, Ilmu
Tasawuf,Pustaka Setia, Bandung, 2008
HAG, Tamami, Psikologi Tasawuf,
Pustaka Setia, Bandung, 2011
Irpan
harahap. Blogspot.com jam 12.13
[1]
Orang banyak menyebut ilmu kalam dengan istilah teologi, sebuah istilah yang
diambil dari bahasa Inggris “theo” (artinya Tuhan) dan “logos” (artinya ilmu).
Jadi, teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Namun, penyamaan istilah ilmu
kalam dengan teologi tampaknya kurang tepat. Alasannya, istilah ilmu kalam
lebih spesifik bagi umat Islam, sedangkan teologi lebih bermakna luas, bias
mencakup seluruh agama selagi masih berbicara tentang ketuhanan. Kalau orang
menyebut teologi, mestinya digandengkan dengan atribut atau keterangan di
belakangnya, misalnya teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi, dan
sebagainya.
[2]
Hadits Riwayat Muslim dan Tirmidzi.
[3]
Lihat Al Quran Surat Al-Hujurat, ayat 14.
[4]
Al Quran Surat Al Jatsiyah, ayat 18.
[5]
Ensiklopedia islam,jilid 5, dalam buku akhlak tasawuf, Bandung: Rasihon Anwar,
2010, hal.148
[6]
Muh. Solihin, Rasikhon Anwar, Ilmu Tasawuf.
Hal: 37
[7]Irpan
harahap. Blogspot.com jam 12.13
0 comments:
Post a Comment