BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di era sekarang ini banyak kaum
muslimin yang telah melaksanakan peribatan sebagaimana layaknya seorang muslim
menunaikan kewajibanya. Akan tetapi tidak semua dari mereka melasanakan dengan
sebenar-benarnya dikarenakan belum mengerti dan belum paham tentang arti
hakikat dari iman, islam dan ihsan. Sehingga apabila melaksanakan sesuatu tanpa
ada dasar pengetahuannya akan terasa kurang sempurna.
Oleh karena itu, kami dari kelompok
12 mata kuliah mashodir tarbawiyah akan mencoba memaparkan apa itu iman, islam,
dan ihsan secara mendetel, yang disertai dengan keikhlasan dengan amal dan
beristiqomah dalam perbuatan sehingga melahirkan ibadah yang berkualitas.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan iman, islam, ihsan?
2.
Apa hubungan antara iman, islam dan ihsan?
3.
Bagaimana cara ikhlas dalam amal dan istiqomah dalam
perbuatan?
C. Tujuan
Masalah
1.
Agar mengetahui tentang iman, islam, ihsan
2.
Agar mengetahui hubungan antara iman, islam, ihsan
3.
Agar mengetahui cara ikhlas dalam amal dan istiqomah dalam
perbuatan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Iman
Pengertian dasar dari istilah “iman”
ialah “memberi ketenangan hati; pembenaran hati”. Jadi makna iman secara
umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota
badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati.
Iman sering
juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati.
Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu
kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut
akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak
dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup
berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.[1]
Adapun rukun iman ada 6 yaitu:
1. Pengertian Iman Kepada Allah
Makna iman kepada Allah adalah
membenarkan dengan sungguh-sungguh akan wujud (eksistensi) Allah Ta’aala, bahwa
Dialah pencipta segala sesuatu, Pengatur seluruh alam, tiada sekutu bagi-Nya.[2]
Kita harus percaya kepada Allah sebab
Dialah Tuhan yang menciptakan seluruh manusia dimuka bumi ini.[3]
Allah
berfirman:
Artinya: “Hai
manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu,
agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah : 21).
2.
Iman
Kepada Malaikat
Malaikat
adalah alam nurani yang tidak dapat dilihat, hanya Allah yang mengetahui
hakikatnya. Mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan yang tiada pernah
melanggar perintah Allah dan mengerjakan semua apa yang disuruh.
Allah
menciptakan mereka karena hikmah yang banyak.
Beriman
kepada malaikat maksudnya adalah percaya dengan keberadaan mereka, dengan
sifat-sifat dan pekerjaan mereka yang kita ketahui.
Allah berfirman:
Artinya:
“Dan sesungguhnya kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang di bisikan oleh hatinya, dan kami
lebih dekat padanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua malaikat
mencatat amal perbuatannya, satu duduk disebelah kanan dan yang lain duduk
disebelah kiri. Tiada satu uacapan pun yang diucapkannya melainkan ada
didekatnya malaikat pengawas selalu hadir”.(QS. Qaf:16-18).
3.
Iman
Kepada Kitab-kitab Allah
Secra
global seorang muslim beriman bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab
kepada para nabi dan rasul-Nya, agar mereka sampaikan pada manusia. Iman kepada
kitab-kitab tersebut adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi, kita
mempercayai yang disebutkan kepada kita, membenarkan segala berita shahih
tentangnya.
4.
Iman
kepada para Rosul
Beriman kepada semua nabi dan rasul
yang diutus Allah SWT untuk membawa petunhuk bagi segenap makhluk adalah wajib.
Iman kepada rasul meliputi iman kepada risalah yang mereka bawa, percaya
berita-berit abenar tentang mereka.
5.
Iman
Kepada Hari Akhir
Seorang
muslim percaya akan hari akhir. Pada hari itu Allah membangkitkan manusia dari
kubur untuk menerima perhitungan dan ganjaran. Ada pun hal-hal yang tercakup
dalam iman kepada hari akhir:
a.
Mempercayai
kebangkitan, yaitu menghidupkan dan membangkitkan kembali orang-orang mati dari
kubur dengan ruh dan badan mereka.
b.
Mempercayai
himpunan, yaitu pengumpulan manusia setelah dibangkitkan dari kubur.
c.
Beriman
akan adanya perhitungan dan pembalasan.
6.
Iman
Kepada Qadar
Beriman kepada Qadar artinya adalah membenarkan dengan
sungguh-sungguh bahwa setiap yang terjadi di alam ini berlaku sesuai dengan
ilmu dan ketentuan Allah di Azal. Apa yang dikehendaki-Nya terjadi pasti
terjadi, demikian pula sebaliknya.[4]
B.
ISLAM
Secara
etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa
Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang
artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT,
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. 2:112).
Dari
kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim.
Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh
pada ajaran-Nya.[5]
Hal
senada dikemukakan Hammudah Abdalati.[6] Menurutnya,
kata “Islam” berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin, Lam, Mim)
yang berarti kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan. Dalam
pengertian religius, menurut Abdalati, Islam berarti "penyerahan diri
kepada kehendak Tuhan dan ketundukkan atas hukum-Nya" (Submission to
the Will of God and obedience to His Law).
Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius dari kata Islam adalah erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri kepada kehendak Allah SWT dan ketundukkan atas hukum-Nya, maka seseorang dapat mencapai kedamaian sejati dan menikmati kesucian abadi.
Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata “Islam” setidaknya ada empat
yang berkaitan satu sama lain.
1. Aslama. Artinya
menyerahkan diri. Orang yang masuk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah
SWT. Ia siap mematuhi ajaran-Nya.
2. Salima. Artinya
selamat. Orang yang memeluk Islam, hidupnya akan selamat.
3. Sallama. Artinya
menyelamatkan orang lain. Seorang pemeluk Islam tidak hanya menyelematkan diri
sendiri, tetapi juga harus menyelamatkan orang lain (tugas dakwah atau ‘amar
ma’ruf nahyi munkar).
4. Salam. Aman, damai,
sentosa. Kehidupan yang damai sentosa akan tercipta jika pemeluk Islam
melaksanakan asalama dan sallama.
Secara terminologis (istilah, maknawi)
dapat dikatakan, Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan
Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai
utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan
kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Cukup banyak ahli dan ulama yang berusaha merumuskan definisi Islam secara terminologis. KH Endang Saifuddin Anshari[7] mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan bahwa agama Islam adalah:
Wahyu yang
diurunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat
manusia sepanjang masa dan setiap persada.
Suatu sistem
keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala perikehidupan dan penghidupan
asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam
lainnya.
Bertujuan:
keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pada garis
besarnya terdiri atas akidah, syariatm dan akhlak.
Bersumberkan
Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang
ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.[8]
Rukun-rukun Islam :
Nabi SAW. Bersabda :
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ
شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلّا اللّه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَدًا رَسُوْلُ
اللّهِ وَأَقِيْمُوْا الْصّلاَةَ وَ اتُوْا الزّكَاةِ وَصَوْمِ الرَّمَضَانَ
وَحَجِّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً (رواه بخاري و
مسلم )
“Islam itu dibangun atas
lima perkara yaitu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Alloh, menddirikan shalat, membayar zakat,
berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.:”
1.
Syahadat
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya:
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu( juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran: 18)
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu( juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran: 18)
2. Shalat
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan
rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS.al Baqarah(2) : 43)
3.
Zakat
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan
rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS.al Baqarah(2) : 43)
4. Puasa
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs?
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa,” ( Q.S
Al-Baqoroh :183)
5.
Haji
ÏmÏù 7M»t#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzy tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
“padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah
dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi)
orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
(Q.S Ali Imran : 97 )
C.
IHSAN
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (An-Nahl 90).
kata
ihsan, lahir dari madli ahsana yuhsinu ihsanan, yaitu bahasa arab yang berarti
bebuat baik, atau memperbaiki. Sedangkan bila memandang dri hadits pokok
diatas, ihsan diartikan sebagai menyembah Allah seakan akan kita melihat-Nya,
atau setidaknya kita merasa selalu diawasi oleh Allah.
اعبدالله كأنك تراه فإن لم بكن تراه فإنه يراك (متفق عليه)
Artinya
: “sebahlah Allah seakan-akan engkau melihatnya, maka apabila engkau tidak
dapat melihatnya, maka ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)[9]
Disini terdapat indikasi
lebih mengenai ihsan dibanding dengan yang lain. Karena ihsan sendiri merupakan
usaha untuk selalu melakukan yang lebih baik, yang lebih afdol, dan bernilai
lebih sehingga seseorang tidak hanya berorientasi untuk menggugurkan kewajiban
dalah beribadah, melainkan justru berusaha bagaimana amal ibadahnya diterima
dengan sebaik-baiknya oleh Allah. SWT. Karena dia akan merasa diawasi oleh
Allah, maka akan terus timbul dihatinya tuntutan untuk selalu meng upgrade amal
perbuatannya dari yang kurang baik menjadi yang baik, dari yang sudah
baik, terus berusaha untuk yang lebih baik demi diterimanya amal perbuatan
mereka.
Misalnya seseorang yang melakukan sholat, cukup
dengn melakukan syarat dan rukun sholat saja, tanpa hartus khusyu. Orang
itu sudah tidak dituntut lagi kelak karena dia sudah melakukan kewajibannya
walaupun hanya sebatas menggugurkan kewajiban belaka. Beda dengan orang yang
muhsin (ihsan), maka dia akan melakukan sholat tersebut dengan sesempurna
mungkin, dia tidak hanya memperhatikan syarat dan rukun saja, melainkan adab
dalam sholat, kekhusyu’an, khudu’, dan hal-hal yang dapat menghalangi sampainya
ibadah tersebut sampai kepada hadroh sang kholiq.
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali
kebaikan (pula)”. (Ar-Rahman :60)
Ihsan dapat diumpamakan sebagai hiasan
rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah.
Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah,
bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga
dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi
larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai
plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita
hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja,
menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah
hakikat dari ihsan.
D.
Ikhlas Dalam Amal Dan Istiqomah Dalam Perbuatan
Ikhlas artinya
memurnikan tujuan bertaqarrub kepada Allah SWT dari hal-hal yang mengotorinya.
Arti lainnya; menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan dalam segala
bentuk ketaatan. Atau, mengabaikan pandangan makhluk dengan selalu
berkonsentrasi kepada Khaliq.
Ikhlas adalah
diterimanya amal shaleh yang dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk itu[10],
dalam firman-Nya:
“Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Q.S
Al-Bayyinah : 5)
Diriwayatkan
dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu
Hafsh Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau
mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إنما
الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته
الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر
إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai
dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada
niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya
karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR.
Bukhari dan muslim)
Faedah Hadits
Faedah Hadits
Hadits
yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan
amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek,
amalnya pun menjadi jelek.
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini
dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan
hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak
ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.”
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah
mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali
apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada
Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan
untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat
penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah,
hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits
ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan
sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak
akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar]
untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath
al-Bari [1/22]).[11]
Pada
intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu memberikan porsi
ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya antara yang dzahir dan bathin.
Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya kesamaan dalam kedua amalan
ini, baik yang dzahir (amalan yang terlihat oleh orang lain), maupun yang
bathin (yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya). Jika amalan dzahirnya
melebihi amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi keriyaan. Contoh amalan
yang dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati seseorang "basah"
dengan dzikir kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian juga
dalam kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan melakukan
aktivitas ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku maksiat.
Jika
seseorang telah mampu menyeimbangkan antara kedua hal di atas, ini berarti
telah terdapat indikasi keikhlasan dalam amalannya pada dirinya. Apalagi jika
seseorang yang memiliki amalan bathin, jauh lebih banyak dan lebih besar
frekwensinya daripada amalan dzahirnya, maka ia telah mencapai assidqu fil
ikhlas (keikhlasan yang sebenar-benarnya).
Dalam
kehidupan yang dijalani oleh manusia, keikhlasan memiliki posisi yang sangat
penting. Karena tanpa keikhlasan, maka amalan seseorang diibaratkan seperti
jasad yang tidak memiliki ruh lagi. Berikut adalah beberapa urgensi keikhlasan:
1) Ikhlas
merupakan suatu perintah/ kewajiban dari Allah. (QS.98: 5) "Padahal mereka
tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan keikhlasan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."
2) Keikhlasan
merupakan bukti dan sarana ketaqwaan seseorang.
3) Kehidupan
dan kematian akan dipersembahkan kepada Allah SWT. Dan bagaimana persembahan
akan diterima, jika tidak dibarengi dengan keikhlasan?
4) Keikhlasan
merupakan hal yang sangat diperlukan guna menjadi hamba yang terbaik amalannya,
sebagai perealisasian cobaan yang Allah berikan pada insan. (QS.67: 2)
"Yang menjadikan kamu mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun."
5) Ikhlas
merupakan syarat pertemuan antara seorang hamba dengan Rab-nya baik di dunia
maupun di akhirat. (QS.18 : 110) "Dan barang siapa yang mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
jenganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."
Istiqomah itu sendiri mempunyai
pengertian terus menerus melakukan amal shalih dan komitmen dengannya serta
tidak merusak satupun diantara amal-amal tersebut. Imam Nawawi mengatakan bahwa
makna istiqomah adalah senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah. Istiqomah
merupakan satu kata yang ringkas, namun sarat makna dan dialah rambu-rambu
semua urusan.
Hal ini sesuai dengan janji Allah Swt. Dalam surat Al-Ahqaf:
13-14
“sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami
ialah Allah. Kemudian mereka tetap istiqomah, maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita mereka itulah penghuni
surga, mereka kekal didalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan”.
Berdasarkan ayat diatas, Allah
menjanjikan surga yang kekal bagi hamba-hamba Allah yang menjalan segala amal
ibadahnya dengan istiqomah dan ikhlas dijalan-Nya. Menurut pengarang
Manazilus-Sa’ri’in, ada tiga derajat istiqomah, yaitu:
1) Istiqomah dalam usaha untuk melalui
jalan tengah tidak melampaui rancangan ilmu, tidak melanggar batasan ikhlas dan
tidak meyalahi manhaj As-Sunnah. Derajat ini meliputi lima perkara:
·
Amal dan usaha yang dimungkinkan
·
Jalan tengah, yaitu perilaku antara sisi berlebih-lebihan
atau kesewenang-wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.
·
Berada pada rancangan dan gambaran ilmu, tidak berada pada
tuntutan keadaan.
·
Kehendak untuk mengesahkan sesembahan, yaitu ikhlas.
·
Menempatkan amal pada perintah, atau mengikuti As-sunnah.
Lima
perkara inilah yang menyempurnakan istiqomahnya orang-orang yang berada pada
derajat ini. Selagi keluar dari salah satu diantaranya, berarti keluar dari
istiqomah , entah keluar secara keseluruhan ataukah sebagiannya saja. Biasanya
orang-orang salaf menyebutkan dua sendi ini, yaitu jalan tengah amal dan
berpegang kepada As-Sunnah. Sesungguhnya syetan itu bisa mencium hati hamba dan
mengintainya. Jika dia melihat suatu indikasi kebid’ah didalamnya dan berpaling
dari kesempurnaan ketundukan kepada As-Sunnah, maka ia akan mengeluarkannya
agar tidak berpegang kepada As-Sunnah. Jika Syetan melihat hasrat yang kuat
terhadap As-Sunnah, maka ia tidak akan mampu mempengaruhinya untuk
mengeluarkannya dari As-Sunnah. Maka ia memerintahkannya untuk terus berusaha,
lalu bersikap sewenang-wenang terhadap diri sendiri dan keluar dari jalan tengah,
seraya berkata kepadanya, “ ini merupakan kebaikan dan ketaatan. Semakin
semangat berusaha, semakin menyempurnakan ketaatan itu.” Begitulah yang terus
dibisikkan syetan hingga dia keluar dari jalan tengah dan batasannya. Inilah
keadaan golongan khawarij yang melecehkan orang-orang yang istiqomah, dengan
membandingkan sholat, puasa dan bacaan Al-Qru’an diantara mereka. Kedua
golongan ini sama-sama keluar dari As-Sunnah ke bid’ah. Yang pertama keluar ke
bid’ah pengabaian dan yang kedua keluar ke bid’ah kelewat batas.
2) Istiqomah keadaan, yaitu
mempersaksikan hakikat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan ilmu,
berada pada cahaya kesadaran dan mewaspadainya. Dengan kata lain, istiqomah
keadaan dilakukan dengan tiga cara ini. Kaitannya dengan kesaksian hakikat,
maka hakikat itu ada dua macam:hakikat alam dan hakikat agama, yang dipadukan
hakikat ketiga, yaitu sumber, pembentuk dan sekaligus tujuan keduanya.
3) Istiqomah dengan tidak melihat
istiqomah, tidak lengah untuk mencari istiqomah dan keberadaannya. Sedangkan
tidak lengah mencari istiqomah artinya tidak lengah mencari kesaksian penegakan
kebenaran. Jika seorang hamba mempersaksikan bahwa Allah lah yang menegakkan
segala urusan dan istiqomanya berasal dari Allah, bukan berasal dari dirinya
dan juga bukan karena pencariannya, maka dia akan merasa bahwa bukan dirinyalah
yang mendatangkan istiqomah itu. Ini merupakan kosekuensi terhadap asma Allah
Al-Qoyyum. Artinya keyakinan bahwa Allah sendirilah yang menangani segala
urusan dan Dia tidak membutuhkan selain Nya, tapi semua selain Nya tentu
membutuhkan-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seseorang yang
hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman.
Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam.
Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai
kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung
konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah.
Apabila
seorang muslim sudah memahami hakikat makna iman, islam dan ihsan maka dia akan
mengerjakan kewajibannya secara istiqomah disertai dengan rasa ikhlas.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Rusli, 2005, Menjadi Pribadi Unggul Dengan Kukuatan Iman,
Jakarta: Pustaka Al-Mawardi.
Asy-Shiddiy Adil & Al-Mazyad
Ahmad, inilah islam
Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam,
Al-Ma’arif Bandung, 1989.
Hammudah
Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications
Indianapolis-Indiana, 1975.
M. Jamil, 2007, Cakrawala Tasawuf, Jakarta: Gaung Persada
Press Jakarta.
[1]http://cgeduntuksemua.blogspot.com
[2]
Sr.Adil ash-shiddiy & Dr. Ahmad Al-Mazyad, inilah islam, hal:4
[3]
Muhammad Rusli Amin, menjadi pribadi unggul dengan kekuatan iman, hal 11
[4]
Ibid hal 12-23
[6]
Hammudah Abdalati, Islam in Focus,
American Trust Publications Indianapolis-Indiana, 1975, hlm. 7.
[9]
Drs. H. M. jamil, MA, Cakrawala Tasawuf, hal: 15
[10]
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah & Ibnu Rajab Al-Hambali & Imam Ghazali,
Tazkiyah An-Nafs, Hal 11
[11]
http://muslim.or.id/hadits/ikhlas-dalam-beramal.html
1 comments:
medid. aku gak iso ngopi cak
Post a Comment